Kamis, 21 Mei 2015

Tabuik



Pendahuluan
Indonesia memiliki beraneka ragam budaya yang merupakan kekayaaan bangsa. Keanekaragaman budaya ini perlu dilestarikan dan dikembangkan secara terus menurus guna meningkatkan pembangunan ketahanan budaya. Ragam budaya itu adalah suatu cerminan sikap dan pola hidup masyarakat secara turun-temurun. Nilai-nilai yang terkandung di dalamnya sudah menjadi warisan yang sangat berharga pada masyarakat pendukungnya.
Usaha pembangunan dan modernisasi telah menghadapkan kita secara langsung dengan masalah kebudayaan Indonesia dan proses kebudayaan kita memperbaharui diri kita dalam menjawab tantangan-tantangan kehidupan modern. Peghadapan itu telah menimbulkan suatu diskusi penting dikalangan umum tentang perlunya kita mempertahankan kepribadian kita dalam menghadapi perubahan-perubahan sosial yang sangat luas dan mendalam sekarang ini, serta dalam menghadapi pengaruh kebudayaan luar negeri dalam berbagai bentuk, termasuk gaya hidup, pola konsumsi, teknologi dan ilmu pengetahuan.
Disamping itu disadari bahwa karena di dalam masyarakat yang plural, baik dilihat rasio sudut suku bangsa, golongan agama dan daerah, dimana golongan-golongan yang ada tidak sama kemampuan dan kecepatannya untuk menyesuaikan diri, masalah persatuan bangsa merupakan suatu masalah yang terus-menerus memerlukan perhatian dan usaha yang efektif. Maka segala aspek ini bertemu dalam usaha untuk merumuskan suatu strategi kebudayaan yang mampu membimbing proses modernisasi dan pembangunan sehingga menjaga dan memperkuat kepribadian nasional, kontinuitas kebudayaan, dan kemampuan kita untuk berdiri di atas kaki sendiri, sekaligus dengan memperkuat kesatuan nasional  
Seperti halnya upacara Tabuik, mewakili cerminan sikap dan pola hidup masyarakat Pariaman. Nilai-nilai yang terkandung di dalam setiap rentetan alur pelaksanaan maupun simbol upacara tersebut menjadi hal yang penting bagi masyarakat setempat. Tabuik atau lengkapnya upacara Tabuik adalah adalah salah satu tradisi sosial keagamaan masyarakat minangkabau, khususnya di wilayah Padang Pariaman. Substansi tradisi ini bersumber dari suatu peristiwa yaitu kisah mati syahid Husein Bin Abi Thalib (cucu Nabi Muhammad SAW yang kemudian biasa disebut Husein) dalam perang melawan Raja Yazid Bin Muawiyah di negeri Syam di Padang Karbala yang terjadi pada bulan Muharram tahun 61.
Seni tradisional Minangkabau berarti ungkapan rasa keindahan yang bersumber dari kebiasaan adat dan budaya orang Minangkabau. Rasa indah itu bagi masyarakat Minangkabau biasanya bersumber dari alam sekitar, dan ada juga bersumber dari kejadian atau peristiwa yang  terjadi di sekitar lingkungan masyarakat. Contohnya saja Upacara Tabuik yang dilakukan di Pariaman setiap tanggal 1 – 10 Muharram sebagai peringatan tabuik untuk memperingati kisah kesyahidan Imam Husein cucu Nabi Muhammad SAW.
Orang Minang pada umumnya menyebutkan kata Tabuik berasal dari kata Tabut dan orang Pariaman khususnya melafazkan Tabuik. Ini disebabkan pengaruh dialek Minang dimana konsonan akhir huruf “t” akan dilafalkan “ik” seperti takut menjadi takuik, larut menjadi laruik dan sebagainya.
Menurut beberapa sumber Tabuik adalah peti kayu yang dilapisi emas. Sedangkan menurut W.j.S Poerwadarminta dalam Ernatib, 2001 : 14 pada Kamus Besar Bahasa Indonesia Tabuik atau Tabut adalah sebuah peti yang terbuat dari anyaman bambu yang diberi kertas berwarna, kemudian dibawa arak-arakan pada hari peringatan Hasan dan Husein tanggal 10 Muharram. Upacara Tabuik sekarang telah menjadi agenda tahunan tradisi masyarakat Padang Pariaman setiap tanggal 1-10 Muharram.
Selanjutnya Muhammad Idrus Al Marbawi dalam kamus bahasa arab mengatakan, Tabuik berasal dari bahasa Arab Melayu yang artinya peti atau keranda yang dihiasi bunga-bunga dan kain berwarna-warni dan kemudian dibawa berarak-arak keliling kampung. Sedangkan pengertian Tabuik di Pariaman adalah sebuah keranda yang diibaratkan sebagai usungan mayat Husein Bin Ali yang terbuat dari bambu, kayu rotan yang dihiasi bunga-bunga “salapan”. Pada bagian bawah Tabuik terdapat seekor burung Buraq berkepala manusia dan pada bagian atasnya terdapat satu tangkai bunga salapan yang disebut sebagai puncak Tabuik.
Secara harfiah Tabuik berarti peti atau keranda yang dihiasi bunga-bungaan dan dekorasi lain yang berwarna-warni dan kelengkapan lain yang menggambarkan Buraq (hewan kuda yang berkepala manusia). Secara simbolik, Tabuik menyimbolkan kebesaran Allah SWT yang telah membawa terbang jenazah imam Husein ke langit dengan Buraq tersebut sebagai medium yang meninggal secara mengenaskan saat terjadi perang di Karbala, Madinah.
Tradisi ini bersifat kolosal, karena melibatkan banyak orang, mulai dari tahap persiapan, pelaksanaan dan tahap akhir pada penyelesaian puncak acara. Keterlibatan kelembagaan maupun pemerintah daerah, masyarakat setempat, juga pihak lain dari luar daerah pariaman mempunyai andil cukup besar dalam berlangsungnya upacara Tabuik. Secara kuantitas upacara Tabuik merupakan keramaian sosial yang terbesar di wilayah Padang Pariaman.
Keterlibatan banyak personil dan lembaga hal ini menunjukkan bahwa acara ini senantiasa menjadi agenda tetap yang dinanti-nanti seluruh masyarakat Pariaman. Secara kualitas, Tabuik merupakan ruang sosial keterlibatan ninik mamak, alim ulama, cerdik pandai dan anak nagari semua ini menunjukkan bahwa Tabuik telah menjadi media sosial yang paling efektif bagi eksistensi unsur-unsur sosial budaya dalam masyarakat.
Terkait dengan pemeliharaan aset budaya dan pengembangan kebudayaan itu sendiri, tradis i Tabuik dapat mendorong terpeliharanya nilai budaya Minangkabau di tengah masyarakat Padang Pariaman. Alasannya upacara Tabuik dianggap mengandung nilai implementasi filosofi budaya adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah , karena maksud dan tujuan (Hakekat) diselenggarakan tradisi ini yaitu untuk meminta keselamatan, ridha dan berkah dari Allah serta pernyataan syukur atas segala anugerah yang diberikanNYA. Tabuik merupakan salah satu upacara tradisional yang masih tetap eksis dilakukan.
 
 Hal ini mengingat nilai-nilai yang terkandung dalam sangat bermanfaat bagi masyarakat. Berdasarkan latar belakang masalah sebagaimana telah dipaparkan di atas maka ada beberapa hal yang akan menjadi tujuan penulisan karya ini adalah sebagai berikut:
»    mengetahui makna simbol dalam upacara Tabuik di Pariaman
»     menemukan nilai-nilai filosofis yang terkandung dalam simbol-simbol yang dipergunakan dalam upacara Tabuik.
Ruang lingkup bahasan dalam karya ini adalah mengkaji nilai-nilai luhur yang tertuang dalam makna simbolik upacara Tabuik secara filosofis. Untuk memperoleh pembahasan yang terarah dan mendalam pengumpulan data dipusatkan atau dibatasi pada hal tersebut.
 
Pembahasan
Sejarah Terjadinya Upacara Tabuik
di Pariaman
Di daerah Pariaman terdapat suatu tradisi yang sangat unik dan langka yang hingga saat ini masih tetap eksis dilakukan oleh masyarakat setempat. walaupun dalam pembuatannya tidak butuh dana yang sedikit. Namun semua itu tidak mematahkan semangat penduduk setempat terlebih anak nagari Pariaman. Tradisi yang dimaksudakan adalah “upacara Tabuik”. Upacara ini digelar setiap bulan Muharram berlangsung dari Tanggal 1-10 Muharram.
Jadwal acara ini umumnya terbagi dua yaitu 5 hari pertama digunakan untuk membuat perangkat Tabuik, dan 5 hari berikutnya adalah periode pelaksanaan prosesi upacara Tabuik yang berakhir pada penghanyutan perangkat Tabuik di pantai Gondariah, Padang Pariaman.
Perayaan Tabuik di Pariaman berasal dari Bengkulu yang dibawa oleh bangsa Cipei atau keling yang dipimpin oleh Imam Kadar Ali. Bangas Cipei itu sisa dari pasukan Inggris di Bengkulu. Sesuai dengan perjanjian antara Inggris dan Belanda yang dikenal dengan Traktat London thun 1982, maka Belanda mengambil alih daerah Bengkulu dari tangan Inggris dan saat itu mereka terpecar-pencar bahkan ada yang sampai ke Pariaman.
Kemudian pembuatan dan pembinaan Tabuik di Pariaman dikembangkan oleh muridnya bernama Mak Sakarana dan Mak Sakaujana, merupakan orang yang mempelopori Tabuik Pasar dan Tabuik kampung Jawa. Tabuik Pasar melahirkan Tabuik Cimparuh, Bato dan Karan Aur, sedangkan Tabuik Kampung Jawa melahirkan Tabuik Pauh, Jati, Sungai Rotan.
Perkembangan selanjutnya adalah pada masa kolonial Belanda, perayaan Tabuik terus dipertahankan dan diadakan serta dijadikan permainan anak nagari. Hal ini terbukti dengan adanya kebijakan pemerintah kolonial Belanda memberi tempat pada adat istiadat dan budaya tradisional daerah seperti upacara Tabuik untuk terus berlangsung di masyarakat pribumi, dengan memberikan bantuan dan untuk penyelenggaraan upacaraTabuik.
Pada masa kolonial Belanda perayaan Tabuik digalakkan sehingga Tabuik yang tampil sampai 12 buah. Perayaan Tabuik pada masa itu bertujuan untuk menunjukkan kekuasaan. Melalui perayaan Tabuik akan terjadi perkelahian antara anggota Tabuik dan akhirnya mereka juga yang menyelesaikannya. Perayaan Tabuik dijadikannya sebagai media untuk mengadu domba rakyat sesuai dengan politik etisnya yaitu memecah belah bangsa Indonesia.
Setelah kemerdekaan republik Indonesia . Perayaan Tabuik tidak rutin diselenggarakan, mengingat situasi dan kondisi yang tidak memungkinkan namun waktu dilaksanakan masih bersifat ritual, sehingga dinamakan Tabuik adat yang disakralkan. Ini terlihat pada permulaan pelaksanaan perayaan Tabuik selalu dilaksanakan acara selamatan yang dipimpin oleh pewaris atau pawang masing-masing Tabuik.
Pada Tahun 1969 sampai 1980 perayaan Tabuik terhenti, hal ini disebabkan situasi yang tidak memungkinkan untuk diadakan, disamping tidak adanya keinginan masyarakat untuk melaksanakan, karena adanya perkelahian masal yang menggangu ketentraman kota.
Perayaan Tabuik dihidupkan lagi Tahun 1980, yaitu pada masa Pariaman dipimpin oleh Anas Malik, mengingat pembiayaan Tabuik Pasa dan Tabuik Subarang. Kedua Tabuik itu sampai sekarang bertahan untuk ditampilkan pada saat upacara Tabuik berlangsung. Pada saat itu Tabuik lebih ditekankan pada bidang pariwisata, sehingga dinamakan Tabuik adat, wisata dan pembangunan.



Makna Simbol dalam Upacara Tabuik: Sebuah Analisis Filosofis
Secara etimologis kata “simbol” maupun simbolisasi berasal dari kata sumballo atau sumballen yang artinya adalah: berwawancara, merenungkan, memperbandingkan, bertemu, melemparkan menjadi satu. Di samping itu, simbol-simbol berperan dalam upacara karena sebagai alat penghubung antara sesama manusia dan antara manusia dengan benda, juga sebagai lat penghubung antara dunia nyata dengan dunia yang gaib.
Dalam pengertian antara simbol dan lambang sering dibuat ambigu pengertiannya. Pemahaman tentang simbol sering disamakan arti dan pemahamannya dengan lambang, meskipun pada prinsipnya semua simbol adalah merupakan bagian dari tanda yang memiliki makna, namun tidak semua dari tanda tersebut dapat mewakili adanya sebuah simbol. Dalam kehidupan bermasyarakat simbol itu dinyatakan dengan berbagai macam hal, misalnya dengan model pakaian, rambut, riasan dan sebagainya.
Segala sesuatu apapun itu yang terlihat menarik elegan dan berkelas akan memperlihatkan sebuah nilai simbolik yang tinggi.
Sehubungan dengan penciptaan simbol sebagai ciri khas manusia di dalam wujud kebudayaan, seperti yang dikatakan oleh. Simbol terjadi karena manusia adalah animal simbolicum , itu berarti karakteristik yang paling mendasari dari semua kegiatan manusia adalah proses simbolisasi. Salah satu wujud rasa budaya manusi adalah timbulnya rasa seni dalam setiap sanubari kita masing-masing seni rupa, musik, drama, tari dan lain sebagainya. Dunia seni adalah merupakan apresiasi dari tingkah laku dan pengalaman.
Dalam konteks pemaknaan tentang simbol dalam upacara Tabuik, terkandung unsur-unsur perlambangan yang secara umum dapat dilihat sebagai berikut:
» Berantam maksudnya mengadakan musyawarah, mengemukakan ide atau gagasan. Barantam/musyawarah mengandung makna bahwa dalam kehidupan bermasyarakat untuk menyelenggarakan sesuatu terlebih dahulu dimusyawarahkan. Selain itu artinya adalah mensosialisasikan budaya musyawarah pada generasi selanjutnya serta terbina kekompakan sesama masyarakat.
» Maarak panja /jari-jari, artinya adalah mengarak jari-jari yang diletakkan pada alat yang bernama panja, alat yang digunakan menunjukan simbol bahwa manusia hendaknya punya rasa malu pada diri sendiri, malu pada orang lain, dan malu pada pencipta.
» Maarak sorban melambangkan kebesaran dan penghormatan terhadap seorang pemimpin. Sorban biasanya dipakai oleh seorang kyai atau syeh. Menggambarkan bahwa orang yang memakai sorban mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dalambidang keagamaan.
» Tabuik naik pangkat artinya melambangkan persatuan. Walaupun terdiri dari bermacam suku, bahasa, agama, keturunan tetapi tetap satu kesatuan.
» Ma-oyak tabuik adalah suatu pekerjaan yang penuh resiko, mereka tidak peduli dengan apa yang terjadi melambangkan bahwa suatu perbuatan hendaklah dilakukan dengan ikhlas, ingatlah bahwa Allah selalu memberi berkah terhadap orang yang ikhlas melakukan suatu perbuatan.
» Membuang Tabuik, yaitu memberi sesajen. tabuik di anggap sebagai sesaji yang akan di persembahkan untuk penghuni pantai barat Sumatera ( makhluk gaib) dengan maksud memberi perlindungan kepada manusia yang berada di sekitar pulau tersebut.
Dalam setiap kegiatan peringatan atau upacara-upacara itu menunjukkan sikap religiusitas batiniahnya, manusia mencoba untuk berusaha sebisa mungkin merenungkan setiap barang atau benda, peristiwa-peristiwa (kejadian-kejadian), keadaan suka maupun duka yang selama ini dialaminya. Manusia dan masyarakatnya mampu melakukan ini dalam rangka eksistensi diri mempertahankan kelanggengan kehidupannya. Perenungan terhadap hal semacam ini di namakan sebagai perenungan tentang yang ada.
Merenungkan tentang Ada itu mengakibatkan pembebasan. Persentuhan dengan sisi kebatinan (dalam bahasa kebudayaan sering disebut sebagai religi), menyebabkan manusia mampu menembus dasar-dasar Ada dan kehidupan beserta kosmosnya. Dan dalam kontak dengan dasar-dasar Ada itu manusia menghayati penebusannya, tak luput ritual upacara seperti Upacara Tabuik diyakini oleh masyarakatnya sebagai sarana pembebasan diri manusia atas segala bencana.
Nilai-nilai dan norma-norma seolah-olah merupakan polisi lalu lintas yang mengatur masyarakat. Bagi suatu masyarakat seperti masyarakat Pariaman kegiatan seperti inisiasi atau (upacara Tabuik) merupakan persimpangan lalu lintas, dimana kekuatan ilahiah dan pengaruh seorang pemimpin dalam sebuah masyarakat menjalankan fungsinya. Banyak mitos membicarkan tentang kematian dan perjalanan di akhirat; upacara penguburan dan pengusungan “Keranda”—simbol yang digunakan dalam upacara Tabuik—diyakini bisa menjamin perjalanan yang aman.
Kadang-kadang batas antara hidup dan mati sangat tipis, ada salah satu pemuka adapt yang mengatakan “barang siapa tidak melakukan kebiasaan masyarakatnya akan di kucilkan, dan barang siapa dikucilkan dari masyarakatnya sebetulnya dia telah mati, dan kematian fisik akan segera menyusul”.
Persoalannya adalah tidak semua norma dan nilai dapat dirumuskan dengan cermat; kitab-kitab hukum harus diperiksa kembali, setiap tradisi berada ditengah masyarakat yang selalu berkembang menuju kepada kemajuan. Nilai seringkali tersirat disamping juga tersurat dalam sebuah naskah yang tersimpan dengan rapi. Pengaruh pertalian antara masyarakat di suatu zaman dengan zaman berikutnya menurunkan tradisi yang sama, yang mewujudkan sistem nilai yang baru dan secara tidak langsung memiliki pola-pola kekuatan mistik.
Dalam masyarakat yang serupa dengan di Pariaman, nilai-nilai tak akan berubah dengan cepat seperti masyarakat modern di Barat. Pada masa-masa terakhir kita melihat misalnya bagaimana tradisi diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Sisi bagian ini menunjukkan sebuah pola yang agak merujuk pada dimensi mistik yang berlaku di masyarakat setempat sebagai pilar kekuatan pertahanan budayanya.
Upacara Tabuik pada dasarnya merupakan simbol upaya manusia dalam memandang kesatuan alam sebagai sesuatu yang organis yang tidak dapat di pisahkan antara satu dengan yang lainnya. Tradisi tersebut menjadi salah satu mediasi manusia dalam berkomunikasi dengan alam dunia yang ada diluar indera manusia.
Bila kita membandingkan antara mitos religius dengan praktik magis, maka nampaklah perbedaan besar mengenai apa yang ditekankan. Dalam mitos manusia mengarahkan pandangannya dari dunia ini kepada dunia yang penuh kekuasaan yang lebih tinggi, dalam magi manusia bertitik tolak dari dunia penuh kekuasaan itu. Dengan perkataan lain, mitos lebih bersifat transenden, magi lebih bersifat imanen.
Atau lebih sederhana: mitos lebih mirip dengan pujaan religius, sedangkan magi lebih condong menguasai sesuatu lewat beberapa ke pandaian. Magi mau menangkis marabahaya, mempengaruhi daya-daya kekuatan alam, menguasai orang-orang lain sampai mau membunuh orang lain dengan menusuk-nusuk gambarnya misalnya. Dengan perkataan lain, tentu saja magi bertalian dengan mitos.
Konsep tentang yang ada telah menjadi suatu kepercayaan yang syarat akan makna dalam ritual upaca Tabuik ini, tampak pada pola pikir masyarakat pariaman yang mengakui adanya realitas dibalik alam dan hal itu di simbolkan dalam bentuk sesaji dan uborambenya yang terdapat dalam prosesi ritual tersebut.

 Kesimpulan
Upacara Tabuik di daerah Pariaman hingga kini masih eksis diperingati dan dilaksanakan pada TanggaL 1-10 Muharram tiap tahunnya. Pengkisahan peristiwa perang Karbala tetap ditampilkan. Pelaksanaan upacara sekarang tidak mengurangi arti nilai dan makna dari upacara yang diadakan sebelumnya. Teratur tanpa pengaruh unsur-unsur lain. Pengaruh modernisasi serta masuknya unsur-unsur budaya luar tidak menyebabkan pergeseran-pergeseran baik dalam bentuk, isi maupun fungsinya.
Pelaksanaannya masih memegang erat nilai-nilai luhur dengan penghayatan yang mendalam. Eksistensi upacara Tabuik secara tidak langsung telah menjadi subtansi penting dalam kehidupan masyarakat Pariaman. penggunaan sesaji dan segala macam uborambenya bukanlah termasuk perbuatan menyekutukan tuhan melainkan hanya sebagai ritual dalam menjaga keseimbangan kosmos sebagai ciptaan-Nya. Pawang, mantera-mantera maupun sesaji hanya merupakan syarat adat yang telah disepakati masyarakat Pariaman, akan tetapi disisi lain hal tersebut mengandung makna simbol sebagai sesuatu yang selaras dengan alam.
Pada akhirnya tradisi upacara Tabuik ini menekankan pada realitas tentang adanya kesatuan dengan yang- mutlak, eksistensi manusia sebagai sesuatu yang “hidup” yang berproses mencapai kesempurnaan di alam yang lain.
Upacara Tabuik selain berfungsi sebagai hiburan dan permainan anak nagari juga sebagai falsafah hidup masyarakat minangkabau khususnya daerah Pariaman selain itu dapat menjalin kekerabatan yang lebih kental dalam kehidupan sosial kemasyarakatan.

 DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik, 1987. Adat Dan Islam : Suatu Tinjauan Tentang Konflik Di Minangkabau Dan Sejarah Masyarakat , Jakarta : Yayasan Obor.
Dibyasuharda, 1990, Dimensi Metafisik Dalam Symbol , Yogyakarta : Kanisius, Universitas Gadjah Mada.
Ernatib, Zusneli dan siti Rohanah. 2001. Upacara Tabuik di Pariaman : kajian Nilai Budaya dan Fungsi Bagi Masyarakat Pendukungnya . Padang : BKSNT.
Hamka,1982. Alam Takambang Jadi Guru , Adat Dan Kebudayaan Minangkabau , Jakarta : Grafiti Press.
Peursen, C.A. van. 1976. Strategi Kebudayaan. Alih bahasa oleh: Dick Hartoko. Kerjasama antara Penerbit Kanisius Yogyakarta dan BPK Gunung Mulia Jakarta.
Sudiarja, A, 1982. Manusia Dalam Dimensi Simbol , Jakata :Gramedia
Wulandary, Theresia. 2003. Skripsi Simbol Suran Masyarakat Dusun Tutup Ngisor Lereng Gunung Merapi, Yogyakarta : Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar