Pendahuluan
Indonesia
memiliki beraneka ragam budaya yang merupakan kekayaaan bangsa. Keanekaragaman
budaya ini perlu dilestarikan dan dikembangkan secara terus menurus guna
meningkatkan pembangunan ketahanan budaya. Ragam budaya itu adalah suatu
cerminan sikap dan pola hidup masyarakat secara turun-temurun. Nilai-nilai yang
terkandung di dalamnya sudah menjadi warisan yang sangat berharga pada
masyarakat pendukungnya.
Usaha
pembangunan dan modernisasi telah menghadapkan kita secara langsung dengan
masalah kebudayaan Indonesia
dan proses kebudayaan kita memperbaharui diri kita dalam menjawab
tantangan-tantangan kehidupan modern. Peghadapan itu telah menimbulkan suatu
diskusi penting dikalangan umum tentang perlunya kita mempertahankan
kepribadian kita dalam menghadapi perubahan-perubahan sosial yang sangat luas
dan mendalam sekarang ini, serta dalam menghadapi pengaruh kebudayaan luar
negeri dalam berbagai bentuk, termasuk gaya
hidup, pola konsumsi, teknologi dan ilmu pengetahuan.
Disamping itu
disadari bahwa karena di dalam masyarakat yang plural, baik dilihat rasio sudut
suku bangsa, golongan agama dan daerah, dimana golongan-golongan yang ada tidak
sama kemampuan dan kecepatannya untuk menyesuaikan diri, masalah persatuan
bangsa merupakan suatu masalah yang terus-menerus memerlukan perhatian dan
usaha yang efektif. Maka segala aspek ini bertemu dalam usaha untuk merumuskan
suatu strategi kebudayaan yang mampu membimbing proses modernisasi dan
pembangunan sehingga menjaga dan memperkuat kepribadian nasional, kontinuitas
kebudayaan, dan kemampuan kita untuk berdiri di atas kaki sendiri, sekaligus
dengan memperkuat kesatuan nasional
Seperti
halnya upacara Tabuik, mewakili cerminan sikap dan pola hidup masyarakat
Pariaman. Nilai-nilai yang terkandung di dalam setiap rentetan alur pelaksanaan
maupun simbol upacara tersebut menjadi hal yang penting bagi masyarakat
setempat. Tabuik atau lengkapnya upacara Tabuik adalah adalah salah satu
tradisi sosial keagamaan masyarakat minangkabau, khususnya di wilayah Padang Pariaman.
Substansi tradisi ini bersumber dari suatu peristiwa yaitu kisah mati syahid
Husein Bin Abi Thalib (cucu Nabi Muhammad SAW yang kemudian biasa disebut
Husein) dalam perang melawan Raja Yazid Bin Muawiyah di negeri Syam di Padang
Karbala yang terjadi pada bulan Muharram tahun 61.
Seni
tradisional Minangkabau berarti ungkapan rasa keindahan yang bersumber dari
kebiasaan adat dan budaya orang Minangkabau. Rasa indah itu bagi masyarakat
Minangkabau biasanya bersumber dari alam sekitar, dan ada juga bersumber dari
kejadian atau peristiwa yang terjadi di
sekitar lingkungan masyarakat. Contohnya saja Upacara Tabuik yang dilakukan di
Pariaman setiap tanggal 1 – 10 Muharram sebagai peringatan tabuik untuk memperingati kisah kesyahidan Imam Husein cucu Nabi
Muhammad SAW.
Orang Minang
pada umumnya menyebutkan kata Tabuik berasal dari kata Tabut dan orang Pariaman
khususnya melafazkan Tabuik. Ini disebabkan pengaruh dialek Minang dimana
konsonan akhir huruf “t” akan dilafalkan “ik” seperti takut menjadi takuik,
larut menjadi laruik dan sebagainya.
Menurut
beberapa sumber Tabuik adalah peti kayu yang dilapisi emas. Sedangkan menurut
W.j.S Poerwadarminta dalam Ernatib, 2001 : 14 pada Kamus Besar Bahasa Indonesia
Tabuik atau Tabut adalah sebuah peti yang terbuat dari anyaman bambu yang
diberi kertas berwarna, kemudian dibawa arak-arakan pada hari peringatan Hasan
dan Husein tanggal 10 Muharram. Upacara Tabuik sekarang telah menjadi agenda
tahunan tradisi masyarakat Padang Pariaman setiap tanggal 1-10 Muharram.
Selanjutnya Muhammad
Idrus Al Marbawi dalam kamus bahasa arab mengatakan, Tabuik berasal dari bahasa
Arab Melayu yang artinya peti atau keranda yang dihiasi bunga-bunga dan kain
berwarna-warni dan kemudian dibawa berarak-arak keliling kampung. Sedangkan
pengertian Tabuik di Pariaman adalah sebuah keranda yang diibaratkan sebagai
usungan mayat Husein Bin Ali yang terbuat dari bambu, kayu rotan yang dihiasi
bunga-bunga “salapan”. Pada bagian bawah Tabuik terdapat seekor burung Buraq
berkepala manusia dan pada bagian atasnya terdapat satu tangkai bunga salapan
yang disebut sebagai puncak Tabuik.
Secara
harfiah Tabuik berarti peti atau keranda yang dihiasi bunga-bungaan dan
dekorasi lain yang berwarna-warni dan kelengkapan lain yang menggambarkan Buraq
(hewan kuda yang berkepala manusia). Secara simbolik, Tabuik menyimbolkan
kebesaran Allah SWT yang telah membawa terbang jenazah imam Husein ke langit
dengan Buraq tersebut sebagai medium yang meninggal secara mengenaskan saat
terjadi perang di Karbala, Madinah.
Tradisi ini
bersifat kolosal, karena melibatkan banyak orang, mulai dari tahap persiapan,
pelaksanaan dan tahap akhir pada penyelesaian puncak acara. Keterlibatan
kelembagaan maupun pemerintah daerah, masyarakat setempat, juga pihak lain dari
luar daerah pariaman mempunyai andil cukup besar dalam berlangsungnya upacara
Tabuik. Secara kuantitas upacara Tabuik merupakan keramaian sosial
yang terbesar di wilayah Padang Pariaman.
Keterlibatan
banyak personil dan lembaga hal ini menunjukkan bahwa acara ini senantiasa
menjadi agenda tetap yang dinanti-nanti seluruh masyarakat Pariaman. Secara
kualitas, Tabuik merupakan ruang sosial keterlibatan ninik mamak, alim ulama,
cerdik pandai dan anak nagari semua ini menunjukkan bahwa Tabuik telah menjadi
media sosial yang paling efektif bagi eksistensi unsur-unsur sosial budaya
dalam masyarakat.
Terkait
dengan pemeliharaan aset budaya dan pengembangan kebudayaan itu sendiri, tradis
i Tabuik dapat mendorong terpeliharanya nilai budaya Minangkabau
di tengah masyarakat Padang Pariaman. Alasannya upacara Tabuik dianggap
mengandung nilai implementasi filosofi budaya adat basandi syarak, syarak
basandi Kitabullah , karena maksud dan tujuan (Hakekat) diselenggarakan
tradisi ini yaitu untuk meminta keselamatan, ridha dan berkah dari Allah serta
pernyataan syukur atas segala anugerah yang diberikanNYA. Tabuik merupakan
salah satu upacara tradisional yang masih tetap eksis dilakukan.
Hal ini
mengingat nilai-nilai yang terkandung dalam sangat bermanfaat bagi masyarakat.
Berdasarkan latar belakang masalah sebagaimana telah dipaparkan di atas maka
ada beberapa hal yang akan menjadi tujuan penulisan karya ini adalah sebagai
berikut:
»
mengetahui makna simbol dalam upacara Tabuik
di Pariaman
»
menemukan nilai-nilai filosofis yang
terkandung dalam simbol-simbol yang dipergunakan dalam upacara Tabuik.
Ruang lingkup
bahasan dalam karya ini adalah mengkaji nilai-nilai luhur yang tertuang dalam
makna simbolik upacara Tabuik secara filosofis. Untuk memperoleh pembahasan
yang terarah dan mendalam pengumpulan data dipusatkan atau dibatasi pada hal
tersebut.
Pembahasan
Sejarah
Terjadinya Upacara Tabuik
di Pariaman
Di daerah
Pariaman terdapat suatu tradisi yang sangat unik dan langka yang hingga saat
ini masih tetap eksis dilakukan oleh masyarakat setempat. walaupun dalam
pembuatannya tidak butuh dana yang sedikit. Namun semua itu tidak mematahkan
semangat penduduk setempat terlebih anak nagari Pariaman. Tradisi yang
dimaksudakan adalah “upacara Tabuik”. Upacara ini digelar setiap bulan Muharram
berlangsung dari Tanggal 1-10 Muharram.
Jadwal acara
ini umumnya terbagi dua yaitu 5 hari pertama digunakan untuk membuat perangkat
Tabuik, dan 5 hari berikutnya adalah periode pelaksanaan prosesi upacara Tabuik
yang berakhir pada penghanyutan perangkat Tabuik di pantai Gondariah, Padang
Pariaman.
Perayaan
Tabuik di Pariaman berasal dari Bengkulu yang dibawa oleh bangsa Cipei atau
keling yang dipimpin oleh Imam Kadar Ali. Bangas Cipei itu sisa dari pasukan
Inggris di Bengkulu. Sesuai dengan perjanjian antara Inggris dan Belanda yang
dikenal dengan Traktat London thun 1982, maka Belanda mengambil alih daerah
Bengkulu dari tangan Inggris dan saat itu mereka terpecar-pencar bahkan ada
yang sampai ke Pariaman.
Kemudian
pembuatan dan pembinaan Tabuik di Pariaman dikembangkan oleh muridnya bernama
Mak Sakarana dan Mak Sakaujana, merupakan orang yang mempelopori Tabuik Pasar
dan Tabuik kampung Jawa. Tabuik Pasar melahirkan Tabuik Cimparuh, Bato dan
Karan Aur, sedangkan Tabuik Kampung Jawa melahirkan Tabuik Pauh, Jati, Sungai
Rotan.
Perkembangan
selanjutnya adalah pada masa kolonial Belanda, perayaan Tabuik terus
dipertahankan dan diadakan serta dijadikan permainan anak nagari. Hal ini
terbukti dengan adanya kebijakan pemerintah kolonial Belanda memberi tempat
pada adat istiadat dan budaya tradisional daerah seperti upacara Tabuik untuk
terus berlangsung di masyarakat pribumi, dengan memberikan bantuan dan untuk
penyelenggaraan upacaraTabuik.
Pada masa
kolonial Belanda perayaan Tabuik digalakkan sehingga Tabuik yang tampil sampai
12 buah. Perayaan Tabuik pada masa itu bertujuan untuk menunjukkan kekuasaan.
Melalui perayaan Tabuik akan terjadi perkelahian antara anggota Tabuik dan
akhirnya mereka juga yang menyelesaikannya. Perayaan Tabuik dijadikannya sebagai
media untuk mengadu domba rakyat sesuai dengan politik etisnya yaitu memecah
belah bangsa Indonesia.
Setelah
kemerdekaan republik Indonesia
. Perayaan Tabuik tidak rutin diselenggarakan, mengingat situasi dan kondisi
yang tidak memungkinkan namun waktu dilaksanakan masih bersifat ritual,
sehingga dinamakan Tabuik adat yang disakralkan. Ini terlihat pada permulaan
pelaksanaan perayaan Tabuik selalu dilaksanakan acara selamatan yang dipimpin
oleh pewaris atau pawang masing-masing Tabuik.
Pada Tahun
1969 sampai 1980 perayaan Tabuik terhenti, hal ini disebabkan situasi yang
tidak memungkinkan untuk diadakan, disamping tidak adanya keinginan masyarakat
untuk melaksanakan, karena adanya perkelahian masal yang menggangu ketentraman
kota.
Perayaan
Tabuik dihidupkan lagi Tahun 1980, yaitu pada masa Pariaman dipimpin oleh Anas
Malik, mengingat pembiayaan Tabuik Pasa dan Tabuik Subarang. Kedua Tabuik itu
sampai sekarang bertahan untuk ditampilkan pada saat upacara Tabuik
berlangsung. Pada saat itu Tabuik lebih ditekankan pada bidang pariwisata,
sehingga dinamakan Tabuik adat, wisata dan pembangunan.
Makna Simbol dalam Upacara Tabuik:
Sebuah Analisis Filosofis
Secara
etimologis kata “simbol” maupun simbolisasi berasal dari kata sumballo atau
sumballen yang artinya adalah: berwawancara, merenungkan,
memperbandingkan, bertemu, melemparkan menjadi satu. Di samping itu,
simbol-simbol berperan dalam upacara karena sebagai alat penghubung antara
sesama manusia dan antara manusia dengan benda, juga sebagai lat penghubung
antara dunia nyata dengan dunia yang gaib.
Dalam
pengertian antara simbol dan lambang sering dibuat ambigu pengertiannya.
Pemahaman tentang simbol sering disamakan arti dan pemahamannya dengan lambang,
meskipun pada prinsipnya semua simbol adalah merupakan bagian dari tanda yang
memiliki makna, namun tidak semua dari tanda tersebut dapat mewakili adanya
sebuah simbol. Dalam kehidupan bermasyarakat simbol itu dinyatakan dengan
berbagai macam hal, misalnya dengan model pakaian, rambut, riasan dan sebagainya.
Segala
sesuatu apapun itu yang terlihat menarik elegan dan berkelas akan
memperlihatkan sebuah nilai simbolik yang tinggi.
Sehubungan
dengan penciptaan simbol sebagai ciri khas manusia di dalam wujud kebudayaan,
seperti yang dikatakan oleh. Simbol terjadi karena manusia adalah animal
simbolicum , itu berarti karakteristik yang paling mendasari dari semua
kegiatan manusia adalah proses simbolisasi. Salah satu wujud rasa budaya manusi
adalah timbulnya rasa seni dalam setiap sanubari kita masing-masing seni rupa,
musik, drama, tari dan lain sebagainya. Dunia seni adalah merupakan apresiasi
dari tingkah laku dan pengalaman.
Dalam konteks
pemaknaan tentang simbol dalam upacara Tabuik, terkandung unsur-unsur
perlambangan yang secara umum dapat dilihat sebagai berikut:
» Berantam
maksudnya mengadakan musyawarah, mengemukakan ide atau gagasan.
Barantam/musyawarah mengandung makna bahwa dalam kehidupan bermasyarakat untuk
menyelenggarakan sesuatu terlebih dahulu dimusyawarahkan. Selain itu artinya
adalah mensosialisasikan budaya musyawarah pada generasi selanjutnya serta
terbina kekompakan sesama masyarakat.
» Maarak
panja /jari-jari, artinya adalah mengarak jari-jari yang diletakkan pada
alat yang bernama panja, alat yang digunakan menunjukan simbol bahwa manusia hendaknya
punya rasa malu pada diri sendiri, malu pada orang lain, dan malu pada
pencipta.
» Maarak
sorban melambangkan kebesaran dan penghormatan terhadap seorang pemimpin.
Sorban biasanya dipakai oleh seorang kyai atau syeh. Menggambarkan bahwa orang
yang memakai sorban mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dalambidang
keagamaan.
» Tabuik
naik pangkat artinya melambangkan persatuan. Walaupun terdiri dari bermacam
suku, bahasa, agama, keturunan tetapi tetap satu kesatuan.
» Ma-oyak
tabuik adalah suatu pekerjaan yang penuh resiko, mereka tidak peduli
dengan apa yang terjadi melambangkan bahwa suatu perbuatan hendaklah dilakukan
dengan ikhlas, ingatlah bahwa Allah selalu memberi berkah terhadap orang yang
ikhlas melakukan suatu perbuatan.
» Membuang
Tabuik, yaitu memberi sesajen. tabuik di anggap sebagai sesaji yang akan di
persembahkan untuk penghuni pantai barat Sumatera ( makhluk gaib) dengan maksud
memberi perlindungan kepada manusia yang berada di sekitar pulau tersebut.
Dalam setiap
kegiatan peringatan atau upacara-upacara itu menunjukkan sikap religiusitas
batiniahnya, manusia mencoba untuk berusaha sebisa mungkin merenungkan setiap
barang atau benda, peristiwa-peristiwa (kejadian-kejadian), keadaan suka maupun
duka yang selama ini dialaminya. Manusia dan masyarakatnya mampu melakukan ini
dalam rangka eksistensi diri mempertahankan kelanggengan kehidupannya.
Perenungan terhadap hal semacam ini di namakan sebagai perenungan tentang yang
ada.
Merenungkan
tentang Ada itu
mengakibatkan pembebasan. Persentuhan dengan sisi kebatinan (dalam bahasa
kebudayaan sering disebut sebagai religi), menyebabkan manusia mampu menembus
dasar-dasar Ada
dan kehidupan beserta kosmosnya. Dan dalam kontak dengan dasar-dasar Ada itu manusia
menghayati penebusannya, tak luput ritual upacara seperti Upacara Tabuik
diyakini oleh masyarakatnya sebagai sarana pembebasan diri manusia atas segala
bencana.
Nilai-nilai
dan norma-norma seolah-olah merupakan polisi lalu lintas yang mengatur
masyarakat. Bagi suatu masyarakat seperti masyarakat Pariaman kegiatan seperti
inisiasi atau (upacara Tabuik) merupakan persimpangan lalu lintas, dimana
kekuatan ilahiah dan pengaruh seorang pemimpin dalam sebuah masyarakat
menjalankan fungsinya. Banyak mitos membicarkan tentang kematian dan perjalanan
di akhirat; upacara penguburan dan pengusungan “Keranda”—simbol yang digunakan
dalam upacara Tabuik—diyakini bisa menjamin perjalanan yang aman.
Kadang-kadang
batas antara hidup dan mati sangat tipis, ada salah satu pemuka adapt yang
mengatakan “barang siapa tidak melakukan
kebiasaan masyarakatnya akan di kucilkan, dan barang siapa dikucilkan dari
masyarakatnya sebetulnya dia telah mati, dan kematian fisik akan segera
menyusul”.
Persoalannya
adalah tidak semua norma dan nilai dapat dirumuskan dengan cermat; kitab-kitab
hukum harus diperiksa kembali, setiap tradisi berada ditengah masyarakat yang
selalu berkembang menuju kepada kemajuan. Nilai seringkali tersirat disamping
juga tersurat dalam sebuah naskah yang tersimpan dengan rapi. Pengaruh
pertalian antara masyarakat di suatu zaman dengan zaman berikutnya menurunkan
tradisi yang sama, yang mewujudkan sistem nilai yang baru dan secara tidak
langsung memiliki pola-pola kekuatan mistik.
Dalam
masyarakat yang serupa dengan di Pariaman, nilai-nilai tak akan berubah dengan
cepat seperti masyarakat modern di Barat. Pada masa-masa terakhir kita melihat
misalnya bagaimana tradisi diturunkan dari satu generasi ke generasi
berikutnya. Sisi bagian ini menunjukkan sebuah pola yang agak merujuk pada
dimensi mistik yang berlaku di masyarakat setempat sebagai pilar kekuatan
pertahanan budayanya.
Upacara
Tabuik pada dasarnya merupakan simbol upaya manusia dalam memandang kesatuan
alam sebagai sesuatu yang organis yang tidak dapat di pisahkan antara satu
dengan yang lainnya. Tradisi tersebut menjadi salah satu mediasi manusia dalam
berkomunikasi dengan alam dunia yang ada diluar indera manusia.
Bila kita
membandingkan antara mitos religius dengan praktik magis, maka nampaklah
perbedaan besar mengenai apa yang ditekankan. Dalam mitos manusia mengarahkan
pandangannya dari dunia ini kepada dunia yang penuh kekuasaan yang lebih
tinggi, dalam magi manusia bertitik tolak dari dunia penuh kekuasaan itu.
Dengan perkataan lain, mitos lebih bersifat transenden, magi lebih bersifat
imanen.
Atau lebih
sederhana: mitos lebih mirip dengan pujaan religius, sedangkan magi lebih
condong menguasai sesuatu lewat beberapa ke pandaian. Magi mau menangkis
marabahaya, mempengaruhi daya-daya kekuatan alam, menguasai orang-orang lain
sampai mau membunuh orang lain dengan menusuk-nusuk gambarnya misalnya. Dengan
perkataan lain, tentu saja magi bertalian dengan mitos.
Konsep
tentang yang ada telah menjadi suatu kepercayaan yang syarat akan makna dalam
ritual upaca Tabuik ini, tampak pada pola pikir masyarakat pariaman yang
mengakui adanya realitas dibalik alam dan hal itu di simbolkan dalam bentuk
sesaji dan uborambenya yang terdapat dalam prosesi ritual tersebut.
Kesimpulan
Upacara
Tabuik di daerah Pariaman hingga kini masih eksis diperingati dan dilaksanakan
pada TanggaL 1-10 Muharram tiap tahunnya. Pengkisahan peristiwa perang Karbala tetap
ditampilkan. Pelaksanaan upacara sekarang tidak mengurangi arti nilai dan makna
dari upacara yang diadakan sebelumnya. Teratur tanpa pengaruh unsur-unsur lain.
Pengaruh modernisasi serta masuknya unsur-unsur budaya luar tidak menyebabkan
pergeseran-pergeseran baik dalam bentuk, isi maupun fungsinya.
Pelaksanaannya
masih memegang erat nilai-nilai luhur dengan penghayatan yang mendalam.
Eksistensi upacara Tabuik secara tidak langsung telah menjadi subtansi penting
dalam kehidupan masyarakat Pariaman. penggunaan sesaji dan segala macam
uborambenya bukanlah termasuk perbuatan menyekutukan tuhan melainkan hanya
sebagai ritual dalam menjaga keseimbangan kosmos sebagai ciptaan-Nya. Pawang,
mantera-mantera maupun sesaji hanya merupakan syarat adat yang telah disepakati
masyarakat Pariaman, akan tetapi disisi lain hal tersebut mengandung makna
simbol sebagai sesuatu yang selaras dengan alam.
Pada akhirnya
tradisi upacara Tabuik ini menekankan pada realitas tentang adanya kesatuan
dengan yang- mutlak, eksistensi manusia sebagai sesuatu yang “hidup” yang
berproses mencapai kesempurnaan di alam yang lain.
Upacara
Tabuik selain berfungsi sebagai hiburan dan permainan anak nagari juga sebagai
falsafah hidup masyarakat minangkabau khususnya daerah Pariaman selain itu
dapat menjalin kekerabatan yang lebih kental dalam kehidupan sosial
kemasyarakatan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik, 1987. Adat Dan Islam : Suatu
Tinjauan Tentang Konflik Di Minangkabau Dan Sejarah Masyarakat , Jakarta : Yayasan Obor.
Dibyasuharda, 1990, Dimensi Metafisik Dalam
Symbol , Yogyakarta : Kanisius,
Universitas Gadjah Mada.
Ernatib, Zusneli dan siti Rohanah. 2001. Upacara
Tabuik di Pariaman : kajian Nilai Budaya dan Fungsi Bagi Masyarakat
Pendukungnya . Padang
: BKSNT.
Hamka,1982. Alam Takambang Jadi Guru , Adat
Dan Kebudayaan Minangkabau , Jakarta
: Grafiti Press.
Peursen,
C.A. van. 1976.
Strategi Kebudayaan. Alih bahasa oleh: Dick Hartoko. Kerjasama antara
Penerbit Kanisius Yogyakarta dan BPK Gunung Mulia Jakarta.
Sudiarja, A, 1982. Manusia Dalam Dimensi Simbol
, Jakata :Gramedia
Wulandary, Theresia. 2003. Skripsi Simbol Suran
Masyarakat Dusun Tutup Ngisor Lereng Gunung Merapi, Yogyakarta
: Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar